Siapa mendzalimi siapa? Itu adalah ungkapan untuk menggambarkan petualangan di pematang kota, trotoar jalan. Untuk menikmati sebuah jalan-jalan kota pun kita layaknya makan tersedak atau kenikmatan yang terpenggal atau interuptus. Seperti naik kuda yang naik turun, menyusuri goa yang bisa-bisa kejeblos, ikut outbound untuk uji nyali, atau main engklek dengan lompat sana-lompat sini. Benar-benar memasyarakatkan olahraga dan mengolahragakan masyarakat.
Pemerintah kota, pengendara kendaraan, pedagang kaki lima, parkir, atau pemilik rumah di tepi jalan mempunyai andil yang sama menjahati penikmat jalan kaki. Pemilik rumah selalu membuat akses jalan masuk ke pekarangannya minimal sesuai atau lebih tinggi dari level jalan.
Akibatnya jalan penghubung antara jalan dengan rumahnya yang cenderung beda level dengan trotoar sehingga trotoar menjadi naik turun seirama dengan letak akses rumah-rumah di tepi jalan. Gerakan olahraga pertama untuk mengencangkan betis dan paha pejalan kaki.
Parkir kendaraan cenderung memilih lokasi berdekatan dengan tujuan dan lokasi yang populer adalah depan bangunan tujuan dan di trotoar atau tepi jalan. Dengan menjamurnya lokasi unit-unit bisnis baru (distro, kafe, ruko, kios, dan lain-lain) yang jarang mempertimbangkan tempat parkir, trotoar/tepi jalan menjadi tempat darurat untuk menghela kuda tunggangan (celakanya kata darurat dengan berurat tiada berbeda).
Kalau kebetulan di jalan tersebut tidak ada trotoar maka tepi jalan menjadi tempat parkir. Akan tetapi, bila trotoar tersedia, bisa dipastikan trotoar tersebut secara “alami” dikutuk menjadi tempat parkir. Sebuah kutukan yang karmanya dirasakan oleh pejalan kaki untuk memaksa melangkah ke kiri-kanan, dari trotoar ke jalan dan sebaliknya. Gerakan olahraga kedua bagi pejalan kaki untuk melincahkan motorik kaki dan melemaskan pinggang.
Salah satu “keistimewaan” negara atau kota berkembang adalah begitu dibuka jalan baru tak berapa lama bermunculan kaki lima bak jamur di musim hujan di sepanjang jalan tersebut, baik berupa lapak, kios, atau yang menyamar jadi toko. “Cegat keramaian orang”, itulah semboyan mereka. Kalau sudah mendapat pasar dan langganan tak urung semboyan “mencegat” yang bersifat sementara menjadi “mampirlah lama- lama” sehingga terjadi keramaian yang permanen.
Trotoar sering menjadi area pencegatan orang oleh pedagang kaki lima karena senyampang berlalu-lalang siapa tahu membeli dagangan mereka. Sifat yang sementara saja sudah menyita ruang gerak pejalan kaki, apalagi menetap. Trotoar bagi mereka sepertinya memang ditakdirkan untuk membuka dagangan, di depan (jalan) adalah area jual beli, di belakang (biasanya selokan) merupakan area servis (buang sampah, gudang, dan MCK). Karena ini pejalan kaki harus hati- hati menginjak buangan limbah, becek dan bau. Gerakan olahraga ketiga yang bersifat minat khusus, caving.
Setelah area jelajahnya dirampas oleh pemilik rumah tepi jalan, parkir, dan kaki lima, pejalan kaki dengan terpaksa berpetualangan di tepi jalan. Pengendara kendaraan, baik yang bermotor ataupun tidak, cenderung ingin cepat sampai tujuan sehingga memacu kendaraannya.
Seharusnya yang lebih hati-hati adalah moda yang lebih kencang, tetapi pada kasus ini yang harus sangat hati-hati adalah pejalan kaki, bila tak hendak celaka. Terserempet, terciprat air, terempas angin, terjatuh, bahkan tertabrak adalah risiko pejalan kaki. Ini ialah bentuk olahraga keempat terpadu plus uji nyali seperti aksi Fear Factor.
Bukan mimpi
Hal ini masih ditambah “kedinamisan” pemerintah kota dan instansi lainnya (listrik, telepon, air minum, drainase, dan gas) yang membongkar-pasang jaringan utilitas kota.
Untuk tidak menyebut kurangnya koordinasi di antara pihak pelayan masyarakat tersebut, sepertinya trotoar dan (tepi) jalan adalah milik mereka yang (boleh dan) bisa dibongkar kapan pun tanpa pemberitahuan dan antisipasi pada masyarakat. Celakanya lagi, aksi bongkar-pasang selalu mengutamakan aksi pertama (bongkar), sedangkan aksi kedua (pasang) dilakukan dalam waktu yang panjang (sambil menunggu termin proyek turun).
Untuk mewujudkan pedestrian lebih dari sekadar trotoar butuh komitmen semua pihak dan ketegasan pemerintah. Mengharapkan trotoar bersih dari pedagang kaki lima barangkali di kota kita mustahil. Tetapi mencitakan pedestrian yang nyaman, aman, dan selamat bukanlah sebuah mimpi.
Pidato pengukuhan seorang guru besar ilmu lingkungan mengatakan bahwa perilaku orang di jalan adalah cermin tingkat kereligiositasannya. Jika ini dipahami maka kita pun akan selalu santun berkendara di jalan karena keberagamaan kita sedang diuji.
Kalaulah pemilik rumah di tepi jalan tidak saja memikirkan bagaimana akses ke rumah mereka dari jalan, melainkan juga mempertimbangkan kemenerusan trotoar, maka bukan saja bermanfaat bagi masyarakat penikmat jalan juga baginya sendiri.
Seandainya pedagang kaki lima juga memikirkan tempat parkir yang tidak merampas trotoar apalagi bahu jalan, maka mereka bukan saja berbaik hati untuk si penjelajah jalan, tetapi juga mengusahakan kelestarian usaha mereka sendiri.
Misal, pemerintah kota mau “sedikit bersusah” (lagi) memerhatikan si pengukur jalan ini, maka bukan saja masyarakat akan tahu gunanya ada pemerintah, tetapi hal ini sebenarnya merupakan investasi jangka menengah untuk mendukung wisata kota.
Apabila kita berpikir tentang kota, maka yang akan tebersit pertama kali di benak kita adalah jalan-jalannya (Jacobs, 1961). Jika jalan-jalan di kota tersebut aman-menarik, maka aman-menariklah kota tersebut. Tetapi, apabila jalanan itu gronjal-gronjal, becek, dan bahkan menyakitkan, maka kota tersebut menakutkan dan mengerikan dikunjungi.
Satu kilometer jalan di kota lain dengan Kota Yogyakarta barangkali akan ditempuh dengan waktu berbeda. Disini, bukan berapa lama jarak tersebut akan ditempuh, melainkan apa saja yang bisa dinikmati sepanjang jalan tersebut. Trotoar sebagai pedestrian berkontribusi besar untuk dapat menikmati “hidangan” di sepanjang jalan tadi.
(di amal jariyahkan melalui KOMPAS edisi Yogyakarta, Sabtu 7 Juli 2007) hal. D
Yulianto P Prihatmaji
Pendidik di Jurusan Arsitektur
Universitas Islam Indonesia
Yogyakarta