PERILAKU RUMAH TRADISIONAL JAWA “JOGLO” TERHADAP GEMPA

December 29, 2007

Rumah tradisional Jawa terletak di daerah gempa III (gempa sedang), terhampar dari Banyuwangi sampai Cirebon. Rumah tradisional Jawa berwujud Joglo secara bentuk dan konstruksi dianggap sebagai master piece rumah tradisional Jawa, yang terkesan berat dengan struktur rong-rongan (umpak-soko guru-tumpang sari) sebagai penahan beban lateral.

Apabila terjadi gempa struktur kayu rong-rongan rumah Joglo dipandang sebagai struktur inti (core in frame) yang akan menahan gaya lateral, didukung oleh fleksibilitas, redaman, stabilitas, elastisitas, daktilitas, kehiperstatisan kayu dan konstruksi. Sistem tumpuan yang bersifat sendi dan atau rol, sistem sambungan lidah alur, konfigurasi soko-soko emper terhadap soko guru dan kekakuan soko guru oleh tumpang sari/brunjung dipandang sebagai kesatuan sistem earthquake responsive building.

Hasil pengujian model struktur rong-rongan terhadap getaran gaya gempa dengan horizontal slip table, menunjukkan bahwa sistem pembebanan yang diterapkan di rumah Joglo menyumbang kestabilan, pada gempa frekuensi tinggi dan akselerasi rendah-tinggi. Pada getaran gaya gempa berfrekuensi rendah dan akselerasi rendah-tinggi, sistem pembebanan membuat model lebih banyak mengalami deformasi.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa, struktur rumah Joglo aman untuk daerah zona gempa 3 (apabila sistem tumpuan dibuat jepit).

Kata Kunci : struktur joglo, konstruksi rong-rongan, sistem sambungan dan tumpuan, gaya gempa.

(di amal jariyahkan melalui jurnal ilmiah Dimensi Teknik Arsitektur Petra Surabaya, Jul 2007 / Vol 35 / No 1, lihat http://puslit.petra.ac.id/~puslit/journals/articles.php?PublishedID=ARS07350101)

Masjid Kubah Bawang

December 29, 2007

Tampaknya bentuk kubah berbentuk bawang pada masjid-masjid yang lazim kita temui di Indonesia sebenarnya bukan sebagai pembentuk bangunan, akan tetapi lebih cenderung sebagai penanda saja. Penanda an sich bahwa bangunan tersebut sebagai tempat bersujud. Namun, entah sejak kapan dan bagaimana sejarahnya hingga di masyarakat ada kesepakatan bahwa apapun bentuk bangunan masjidnya, atapnya “harus!” berkubah bawang. Tulisan ini hendak mengendus apa gerangan yang menjadikannya keharusan. Ataukah ini sudah tergurat erat di alam bawah sadar masyarakat kita, bahwa masjid tidak ‘afdhol’ kalau tidak berkubah bawang. Masjid yang dimaksud di sini adalah masjid komunitas/ kampung atau swadaya masyarakat, bukan milik perseorangan, badan usaha atau lembaga.

Pada pembangunan masjid baru, bentuk denahnya bujur sangkar dan keberadaan mihrab seolah wajib, karena alasan efisiensi jumlah dan barisan (shaf) jamaah. Tetapi keberadaan mihrab secara syar’i masih belum tuntas dibahas: apakah memang wajib atau tuntutan kebutuhan semata. Kecenderungan kebutuhan ruang yang luas menuntut ruangan harus bebas kolom. Hal ini berpengaruh pada pilihan sistem struktur dan bahan yang digunakan. Sistem struktur rangka beton dan baja saat ini populer diterapkan. Selain alasan kemudahan pada proses pemasangan (praktis), ketersediaan bahan ini sangat tercukupi (baik bentang maupun jumlahnya), berbeda halnya dengan kayu. Sekarang ini sangat jarang kayu digunakan sebagai struktur konstruksi masjid (kecuali atap), dengan pertimbangan harga yang relatif mahal dan waktu pengerjaan yang lama.

Beberapa modus operandi pembanguan masjid komunitas yang dilakukan adalah: pertama, rancangan masjid dimintakan bantuan kepada konsultan perancangan (arsitek, biro perancangan atau perguruan tinggi sebagai bentuk pengabdian masyarakat). Walaupun ada dialog antara perancang dan masyarakat tentang cita dan gagasan langgam dan citra masjid, tetapi jika sang perancang tak kuat berargumentasi tentang bentuk masjid, maka yang muncul adalah komentar warga: “mbok sampun mas, mboten usah aneh-aneh. Ingkang biasa mawon.” (sudah mas, tidak usah aneh-aneh, yang biasa saja). Akibatnya yang berlaku adalah bussines as unsual, atap kubah bawang is the best!

Kalaupun rancangan bentuk atap bisa menghindari kubah bawang, secara perlahan tapi pasti penandanya akan kembali ke kubah tersebut. Entah ditaruh di menara, di atap serambi atau ditempelkan begitu saja di atap masjid utama. Tak peduli apakah atapnya berbentuk tajug, limasan atau datar. “Kagem ilok-ilok mas, masjid kok mboten wonten kubahe,” (untuk pantas-pantas mas, masjid kok tidak ada kubahnya), begitu komentar mereka. Atap meru sudah tidak lagi mengesankan sebagai tempat suci.

Kedua, masyarakat membentuk tim kecil (tukang dan mandor) dan mengirimkannya ke masjid yang ingin ditiru, lalu tim kecil tersebut menggambar ulang (redraw) dan merekonstruksi masjid hasil survei (sama persis atau modifikasi) di kampungnya. Ketiga, masyarakat memanfaatkan bangunan wakaf atau kas desa untuk masjid, atau masyarakat berkeinginan untuk merenovasi surau atau musholla guna meningkatkan status menjadi masjid. Metode konstruksinya menggunakan sistem bertahap dan sirkileran (infaq-shodaqoh) dalam bentuk uang, bahan, atau tenaga.

Di beberapa daerah, donasi diwujudkan dalam bentuk bahan terpasang. Misalnya keramik, genteng atau mustaka. Seringkali mustaka atau hiasan didonasikan tanpa melihat padu padan dengan bentuk masjid secara keseluruhan. Dulunya mustaka hanya sebagai hiasan (nanasan) dan kubah sebagi pembentuk masjid. Sekarang makna mustaka menjadi bias, hanya diartikan sebagai kubah bawang sebagai hiasan. Barangkali ingin menyesuaikan dengan rambu lalu lintas di jalan yang menunjukkan keberadaan sebuah masjid. Bentuk persegi dengan latar putih, garis pinggir biru dan bergambar kubah masjid plus bulan dan bintang. Sebenarnya lebih dulu mana, rambu lalu lintas tersebut atau masjid yang ditandai?

Mungkin juga dampak dari industrialisasi. Begitu mudah dengan harga relatif murah mendapatkan kubah bawang berbahan aluminium atau seng dengan berbagai variasinya (ada yang bisa berputar bila terkena angin, plus ada lafadz Allah, bulan-bintang, bahkan bawang terbelah). Para donatur yang budiman (mungkin) telah merasa sah dan afdhol dengan sumbangan tersebut. Walaupun ikhlas, tetapi lebih baik lagi seandainya bantuan tersebut disesuaikan dengan kebutuhan dan konsep masjid yang disepakati oleh jamaah.

Hal ini juga bisa dipandang sebagai budaya vernakular (budaya yang berkembang di masyarakat, oleh masyarakat dan untuk masyarakat). Vernakularisasi kubah bawang pada masjid lebih menarik jika berakar dari budaya setempat dan bukan hanya sekedar hiasan. Tetapi mungkin juga, hiasan tersebut sudah cukup bermanfaat bagi masyarakat sekitar tadi. Paling tidak sebagai tanda bahwa masjid (atau lebih tepatnya masyarakat) disitu “merasa” selevel dengan masjid biru (the Blue Mosque) atau bangunan Aya Sofia di Istanbul, Turki.

Bentuk atap masjid, saat ini pilihannya sudah terpaku pada atap kubah atau atap tajug (plus kubah bawang atau hiasan nanasan). Seolah hanya bentuk ini yang akan “diterima disisi-Nya”. Padahal, tak ada satu dalil pun di dalam Alqur’an maupun hadits Nabi yang mewajibkan langgam dan ekspresi bangunan harus merujuk pada hal tertentu. Bahkan ada hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari: “Dan apabila sesuatu itu merupakan urusan duniamu, maka engkaulah yang lebih mengetahuinya (berhak menentukannya)”.

Masyarakatlah (mungkin dibantu desainer) yang paling berhak menentukan bentuk masjid tanpa harus terikat buta pada pemikiran tradisi dan budaya sebelumnya. Masyarakat seyogyanya memperjuangkan penentangan terhadap sikap `taqlid` (imitasi), yakni menerima tanpa memahami persoalan atau meniru dengan membabi-buta. Termasuk imitasi dalam dunia arsitektur, walaupun tidak diharamkan tetapi sangat disesalkan, sehingga pintu ijtihad untuk menghasilkan gagasan-gagasan baru terkait dengan desain masjid harus selalu dibuka lebar-lebar.

Masyarakat (dan arsitek) harus selalu berijtihad dengan nalar dan nalurinya untuk menelorkan karya-karya yang mengandung novelty (unique-genuine/ unik dan orisinil) yang kreatif-inovatif sehingga menjadi karya budaya yang bermanfaat bagi diri sendiri dan umat. Paling tidak, ada kreasi yang berbeda antara satu masjid di suatu tempat dengan yang lainnya (local genius), tetapi tidak waton (asal) beda.

(di amal jariyahkan melalui lembar jumat Al Rasikh Masjid Ulul Albab UII Yogyakarta, 30 November 2007)

Yulianto P Prihatmaji
Juru Terang Arsitektur
Universitas Islam Indonesia
Yogyakarta

“PEMULUNG SILAKAN DUDUK”

December 29, 2007

Kota-kota besar di Indonesia sudah mengeluh tentang sampah, bahkan Jakarta dan Bandung bukan hanya kewalahan menghadapi sampah tetapi sudah pada taraf weleh-weleh. Sampah yang dimaksud di sini adalah sampah padat, belum lagi yang bersifat cair atau gas. Sampah bukan lagi sebagai barang buangan tetapi sudah menjadi “hiasan” kota. Bagaimana dengan Kota Yogyakarta?

Dengan jumlah penduduk mencapai 521.499 jiwa yang terpumpun dalam 107.919 kepala keluarga (2006), Yogyakarta menghasilkan sampah 1.724 meter kubik per hari. Kalau dirata-rata per kepala keluarga (lima jiwa) menghasilkan sampah 15,75 liter per hari, dan memang penyumbang terbesar sampah adalah dari rumah tangga.

Yogyakarta hanya mempunyai tempat pembuangan akhir (TPA) satu buah, yaitu di TPA Piyungan (2001). Dengan luas 12 hektar, TPA tersebut dapat menampung sampah 2,7 juta meter kubik untuk masa penggunaan 10 tahun dengan asumsi persentase daur ulang 20 persen. Diharapkan sampah akan terurai dengan sistem sanitary landfill ditimbun tanah dan (sebagian) dibakar. Asap pembakaran pun akan menimbulkan gas karbon dioksida yang mengganggu pernapasan dan penglihatan. Tetapi, apakah cara primitif ini masih akan kita lestarikan?

Dengan hanya dibuang begitu saja, sampah yang bercampur (plastik, logam, kaca, kayu, kemasan produk, sayuran, dan lain-lain) akan sulit terurai atau ratusan tahun. Kalau sampah plastik dan kemasan snack akan terurai ratusan tahun, sampah logam bisa terurai puluhan tahun, sampah kayu, bambu, dan lain-lain beberapa bulan, dan sampah sayuran beberapa minggu. Mungkin sampai waktu gantung siwur (Jawa: cucu cicit kita) sampah yang kita buang baru terurai. Barangkali pikir mereka, alangkah hebatnya moyangnya mewariskan “hiasan kota” bagi kehidupan mereka.

Itu baru waktu kira-kira urai sampah saja (yang dalam kenyataannya mungkin lebih lama), belum lagi “limbah baru” yang ditimbulkan sampah bercampur tersebut. Limbah baru tersebut berupa cairan dari air hujan yang bercampur dengan sampah dan bau yang ditimbulkannya. Tentu saja cairan tersebut bukan hanya menjadi B3, bahan berbahaya beracun, tetapi bahan bikin binasa banget (B4). Belum lagi bau yang bikin mual muntah, yang dalam waktu tertentu membikin kita pusing, bahkan pingsan.

Menurut penelitian, kalau terjadi penetrasi cairan tersebut ke sumber air dan airnya dimanfaatkan oleh manusia, maka menyebabkan ganguan pencernaan dan penyakit lain. Walaupun lokasi TPA sudah diperhitungkan jaraknya dengan permukiman “umum”, tetapi apakah permukiman “khusus” pemulung tidak dianggap? Toh mereka juga manusia seperti manusia yang tinggal di permukiman “umum” itu, atau kita bisa mengatakan “ya, itu sudah risiko”.

Sampah tidak bisa kita hindari dalam kehidupan kita. Tetapi, kita bisa belajar dari alam. Tidak satu pun bahan di alam yang tak terurai, sekeras apa pun dia. Atau kalau tidak terdaur ulang, bahan tersebut tidak menimbulkan dampak lingkungan apalagi membahayakan kehidupan makhluk hidup.

Mengganti (replace), mengurangi (reduce), memakai kembali (re- use), dan mendaur ulang (recycle) adalah strategi untuk menghadapi sampah. Untuk aksi tindaknya, pertama adalah mengurangi sampah sekecil apa pun. Hal ini terkait dengan budaya belanja kita. Sebagai contoh, ketika berbelanja, usahakan membawa tas belanjaan dari rumah yang bisa dipakai berulang. Jangan meminta tas belanja (kresek) apalagi sejumlah barang belanjaan kita kalau tidak terpaksa (barang yang butuh wadah berbeda). Makin kecil

Yang perlu kita waspadai adalah kemasan produk snack makanan, minuman, sabun, sampo, dan lain-lain. Strategi pemasaran produk tersebut menciptakan volume-volume yang kemedol (marketable) yang berakibat ukuran kemasan kecil-kecil (sachet-an). Semakin kecil kemasan produk semakin susah mengelola sampahnya.

Kedua, memisahkan sampah. Hal ini juga masih terkait budaya kita. Mungkin sebagai pemula, memisahkan menjadi dua jenis sampah dulu, yaitu organik dan anorganik. Baru dilanjutkan dipisahkan berdasar sifat bahan, logam, plastik, kertas, alami, kaca, dan kain. Hal ini untuk memudahkan pengolahan sampah untuk didaur ulang.

Walaupun Pemerintah Kota Yogyakarta sudah meletakkan tempat sampah di tempat-tempat publik, tetapi barangkali lebih efektif dimulai dari rumah tangga dulu. Bukankah bangsa yang besar berawal dari keluarga, apalagi hanya sebuah kota. Yang perlu kita lakukan segera adalah menyediakan dua wadah sampah di dapur kita, satu untuk sayuran satu untuk nonsayuran.

Ketiga diseminasi, lagi-lagi ini masalah budaya. Pembelajaran tentang sampah perlu dilakukan sejak pendidikan dini usia dengan teladan orang tua (rumah), guru (sekolah), dan lingkungannya. Barangkali slogan yang ditiupkan di hati anak sederhana saja, “aku datang bersih dan aku pulang juga bersih”. Kalau sudah beranjak remaja atau tua jangan berharap akan berubah karena sudah (maaf) ngakik.

Keempat teknologi daur ulang sampah. Menggunakan incinerator (pembakaran dengan panas tinggi) mungkin bukan pilihan terbaik mengingat pengadaan dan pengoperasiannya relatif mahal, belum lagi kemampuan sumber daya manusia (SDM) kita. Barangkali teknologi daur ulang yang tepat guna dan padat karya merupakan pilihan terbaik menimbang jumlah dan rerata kemampuan SDM kita juga.

Sampah organik dikumpulkan di komposter (tong, bak, atau drum) dicampur tanah dan dibiarkan beberapa waktu akan menjadi kompos untuk pupuk tanaman kita. Jangan biarkan sejengkal tanah kita (horizontal) tidak ada tanamannya, bahkan kalau perlu tembok kita tanami juga (vertikal).

Kalau kita belum bisa mengolah sampah nonorganik, serahkan saja pada “laskar mandiri”, pasti mereka bersuka hati menerima “sedekah” kita. Di gerbang kampung atau desa sudah tidak perlu plang Pemulung Dilarang Masuk, tetapi diganti Pemulung Silakan Duduk untuk negosiasi harga sampah. Sebuah tawaran menarik untuk ibu yang berkarier di rumah tangga.

(di amal jariyahkan melalui KOMPAS edisi Yogyakarta, Selasa 30 Oktober 2007 hal. D)

Yulianto P Prihatmaji
Pendidik di Jurusan Arsitektur
Universitas Islam Indonesia
Yogyakarta

“Trotoarus Interuptus”

December 29, 2007

Siapa mendzalimi siapa? Itu adalah ungkapan untuk menggambarkan petualangan di pematang kota, trotoar jalan. Untuk menikmati sebuah jalan-jalan kota pun kita layaknya makan tersedak atau kenikmatan yang terpenggal atau interuptus. Seperti naik kuda yang naik turun, menyusuri goa yang bisa-bisa kejeblos, ikut outbound untuk uji nyali, atau main engklek dengan lompat sana-lompat sini. Benar-benar memasyarakatkan olahraga dan mengolahragakan masyarakat.

Pemerintah kota, pengendara kendaraan, pedagang kaki lima, parkir, atau pemilik rumah di tepi jalan mempunyai andil yang sama menjahati penikmat jalan kaki. Pemilik rumah selalu membuat akses jalan masuk ke pekarangannya minimal sesuai atau lebih tinggi dari level jalan.

Akibatnya jalan penghubung antara jalan dengan rumahnya yang cenderung beda level dengan trotoar sehingga trotoar menjadi naik turun seirama dengan letak akses rumah-rumah di tepi jalan. Gerakan olahraga pertama untuk mengencangkan betis dan paha pejalan kaki.

Parkir kendaraan cenderung memilih lokasi berdekatan dengan tujuan dan lokasi yang populer adalah depan bangunan tujuan dan di trotoar atau tepi jalan. Dengan menjamurnya lokasi unit-unit bisnis baru (distro, kafe, ruko, kios, dan lain-lain) yang jarang mempertimbangkan tempat parkir, trotoar/tepi jalan menjadi tempat darurat untuk menghela kuda tunggangan (celakanya kata darurat dengan berurat tiada berbeda).

Kalau kebetulan di jalan tersebut tidak ada trotoar maka tepi jalan menjadi tempat parkir. Akan tetapi, bila trotoar tersedia, bisa dipastikan trotoar tersebut secara “alami” dikutuk menjadi tempat parkir. Sebuah kutukan yang karmanya dirasakan oleh pejalan kaki untuk memaksa melangkah ke kiri-kanan, dari trotoar ke jalan dan sebaliknya. Gerakan olahraga kedua bagi pejalan kaki untuk melincahkan motorik kaki dan melemaskan pinggang.

Salah satu “keistimewaan” negara atau kota berkembang adalah begitu dibuka jalan baru tak berapa lama bermunculan kaki lima bak jamur di musim hujan di sepanjang jalan tersebut, baik berupa lapak, kios, atau yang menyamar jadi toko. “Cegat keramaian orang”, itulah semboyan mereka. Kalau sudah mendapat pasar dan langganan tak urung semboyan “mencegat” yang bersifat sementara menjadi “mampirlah lama- lama” sehingga terjadi keramaian yang permanen.

Trotoar sering menjadi area pencegatan orang oleh pedagang kaki lima karena senyampang berlalu-lalang siapa tahu membeli dagangan mereka. Sifat yang sementara saja sudah menyita ruang gerak pejalan kaki, apalagi menetap. Trotoar bagi mereka sepertinya memang ditakdirkan untuk membuka dagangan, di depan (jalan) adalah area jual beli, di belakang (biasanya selokan) merupakan area servis (buang sampah, gudang, dan MCK). Karena ini pejalan kaki harus hati- hati menginjak buangan limbah, becek dan bau. Gerakan olahraga ketiga yang bersifat minat khusus, caving.

Setelah area jelajahnya dirampas oleh pemilik rumah tepi jalan, parkir, dan kaki lima, pejalan kaki dengan terpaksa berpetualangan di tepi jalan. Pengendara kendaraan, baik yang bermotor ataupun tidak, cenderung ingin cepat sampai tujuan sehingga memacu kendaraannya.

Seharusnya yang lebih hati-hati adalah moda yang lebih kencang, tetapi pada kasus ini yang harus sangat hati-hati adalah pejalan kaki, bila tak hendak celaka. Terserempet, terciprat air, terempas angin, terjatuh, bahkan tertabrak adalah risiko pejalan kaki. Ini ialah bentuk olahraga keempat terpadu plus uji nyali seperti aksi Fear Factor.

Bukan mimpi

Hal ini masih ditambah “kedinamisan” pemerintah kota dan instansi lainnya (listrik, telepon, air minum, drainase, dan gas) yang membongkar-pasang jaringan utilitas kota.

Untuk tidak menyebut kurangnya koordinasi di antara pihak pelayan masyarakat tersebut, sepertinya trotoar dan (tepi) jalan adalah milik mereka yang (boleh dan) bisa dibongkar kapan pun tanpa pemberitahuan dan antisipasi pada masyarakat. Celakanya lagi, aksi bongkar-pasang selalu mengutamakan aksi pertama (bongkar), sedangkan aksi kedua (pasang) dilakukan dalam waktu yang panjang (sambil menunggu termin proyek turun).

Untuk mewujudkan pedestrian lebih dari sekadar trotoar butuh komitmen semua pihak dan ketegasan pemerintah. Mengharapkan trotoar bersih dari pedagang kaki lima barangkali di kota kita mustahil. Tetapi mencitakan pedestrian yang nyaman, aman, dan selamat bukanlah sebuah mimpi.

Pidato pengukuhan seorang guru besar ilmu lingkungan mengatakan bahwa perilaku orang di jalan adalah cermin tingkat kereligiositasannya. Jika ini dipahami maka kita pun akan selalu santun berkendara di jalan karena keberagamaan kita sedang diuji.

Kalaulah pemilik rumah di tepi jalan tidak saja memikirkan bagaimana akses ke rumah mereka dari jalan, melainkan juga mempertimbangkan kemenerusan trotoar, maka bukan saja bermanfaat bagi masyarakat penikmat jalan juga baginya sendiri.

Seandainya pedagang kaki lima juga memikirkan tempat parkir yang tidak merampas trotoar apalagi bahu jalan, maka mereka bukan saja berbaik hati untuk si penjelajah jalan, tetapi juga mengusahakan kelestarian usaha mereka sendiri.

Misal, pemerintah kota mau “sedikit bersusah” (lagi) memerhatikan si pengukur jalan ini, maka bukan saja masyarakat akan tahu gunanya ada pemerintah, tetapi hal ini sebenarnya merupakan investasi jangka menengah untuk mendukung wisata kota.

Apabila kita berpikir tentang kota, maka yang akan tebersit pertama kali di benak kita adalah jalan-jalannya (Jacobs, 1961). Jika jalan-jalan di kota tersebut aman-menarik, maka aman-menariklah kota tersebut. Tetapi, apabila jalanan itu gronjal-gronjal, becek, dan bahkan menyakitkan, maka kota tersebut menakutkan dan mengerikan dikunjungi.

Satu kilometer jalan di kota lain dengan Kota Yogyakarta barangkali akan ditempuh dengan waktu berbeda. Disini, bukan berapa lama jarak tersebut akan ditempuh, melainkan apa saja yang bisa dinikmati sepanjang jalan tersebut. Trotoar sebagai pedestrian berkontribusi besar untuk dapat menikmati “hidangan” di sepanjang jalan tadi.

(di amal jariyahkan melalui KOMPAS edisi Yogyakarta, Sabtu 7 Juli 2007) hal. D

Yulianto P Prihatmaji
Pendidik di Jurusan Arsitektur
Universitas Islam Indonesia
Yogyakarta

Robohnya Joglo Kami

December 29, 2007

Kini lengkap sudah kekhawatiran pencinta tradisi dan penggiat warisan budaya, khususnya arsitektur, tentang keberadaan dan kelestarian bangunan tradisional Jawa. Gempa yang mengguncang Yogyakarta dan sekitarnya telah meluluhlantakkan lingkungan binaan, termasuk warisan arsitektur tradisional Jawa.

Bangunan tradisional Jawa yang berbentuk panggangpe, limasan, kampung, joglo, dan tajug banyak yang tak berdaya menghadapi gempa yang kurang dari semenit.

Joglo, yang merupakan mahakarya arsitektur tradisional Jawa, pun banyak yang terjungkal kehilangan pamor-pesona kekuatan dan kestabilan bangunan kayu. Legenda bahwa bangunan joglo tahan gempa telah gugur.

Pertanyaannya, bagaimana mungkin mahakarya joglo lunglai menghadapi gempa “yang hanya” berkekuatan 5,9 skala Richter. Tulisan ini mencoba meraba apa gerangan yang terjadi. Penelitian yang telah dilakukan penulis (2003) tentang perilaku bangunan tradisional Jawa terhadap gempa membuktikan bahwa joglo tahan goyangan sampai 6 bahkan 7 skala Richter, dengan metode eksperimen terskala di laboratorium.

Banyak faktor yang menyebabkan joglo tanggap gempa. Sengaja digunakan kata tanggap gempa bukan tahan gempa karena bangunan ini sepertinya dapat merespons dan berdialog dengan gaya gempa. Pertama, sistem struktur yang digunakan. Orang menganggap joglo berstruktur rangka karena memang terlihat batang-batang kayu yang disusun membentuk rangka.

Maclaine Pont (1923) dapat melihat lebih jernih bahwa struktur joglo menerapkan sistem tenda atau tarik. Hal ini didasarkan pada sistem dan sifat sambungan kayu yang digunakan (cathokan dan ekor burung), semuanya bersifat mengantisipasi gaya tarik. Tidak berhenti sekadar “fatwa”, Pont membuktikannya pada Gereja Poh Sarang Kediri yang menggunakan sistem struktur tarik dengan bahan baja. Sistem struktur tarik inilah yang membuat joglo bersifat fleksibel sehingga dapat tanggap terhadap gaya-gaya gempa.

Kedua, sistem distribusi beban. Bangunan joglo mempunyai soko guru (tiang utama) 4 buah dan 12 buah soko pengarak. Ruang yang tercipta dari keempat soko guru disebut rong-rongan, yang merupakan struktur inti joglo. Soko-soko guru disatukan oleh balok-balok (blandar-pengeret dan sunduk-kili) dan dihimpun-kakukan oleh susunan kayu yang berbentuk punden berundak terbalik di tepi (tumpangsari) dan berbentuk piramida di tengah (brunjung). Susunan kayu ini bersifat jepit dan menciptakan kekakuan sangat rigid. Soko-soko pengarak di peri-peri dipandang sebagai pendukung struktur inti.

Faktor ketiga adalah sistem tumpuan dan sistem sambungan. Sistem tumpuan bangunan joglo menggunakan umpak yang bersifat sendi. Hal ini untuk mengimbangi perilaku struktur atas yang bersifat jepit. Konfigurasi sendi di bawah dan jepit di atas inilah yang membuat joglo dapat bergoyang seirama dengan guncangan gempa. Sistem sambungannya yang tidak memakai paku, tetapi menggunakan sistem lidah alur, memungkinkan toleransi terhadap gaya-gaya yang bekerja pada batang-batang kayu. Toleransi ini menimbulkan friksi sehingga bangunan dapat akomodatif menerima gaya-gaya gempa.

Pemilihan dan penggunaan bahan bangunan adalah faktor keempat. Penggunaan kayu untuk dinding (gebyok) dan genteng tanah liat untuk atap disebabkan karena material ini bersifat ringan sehingga relatif tidak terlalu membebani bangunan. Pada awalnya penutup atap yang dipakai adalah jerami, daun kelapa, daun tebu, sirap, dan ilalang. Oleh karena merebak penyakit pes, pemerintah kolonial Belanda mengganti penutup atap dengan genteng supaya lebih sehat. Kualitas

Sekarang, walaupun tidak semua, bangunan joglo banyak yang rusak serius bahkan roboh akibat gempa. Mengapa hal ini dapat terjadi? Selain karena besarnya guncangan gempa, faktor kualitas bangunan menjadi penentu rusak tidaknya sebuah bangunan.

Hampir semua joglo yang rusak atau roboh beratapkan genteng tanah liat. Dalam keadaan normal, penutup atap menyumbang beban yang besar terhadap bangunan, apalagi ketika diguncang gempa. Apabila dianalogikan sebuah tubuh, kaki atau umpak dan tubuh atau soko guru tidak kuat menahan atap sebagai kepala bangunan. Ketika terjadi gempa masing-masing komponen bangunan (umpak, soko, dan atap) memiliki perilaku masing-masing dan kesatuannya hanya mengandalkan sambungan-sambungan di antaranya.

Renovasi sebagai respons terhadap kebutuhan dan keinginan pemilik bangunan juga memiliki andil yang besar terhadap kelemahan dan kelabilan joglo ketika gempa datang. Penggantian bahan dinding dari kayu menjadi tembok bata menimbulkan gaya desak ke komponen yang lebih lemah, tembok bata mendesak kayu sehingga bangunan menjadi labil.

Adanya mitos bangunan tradisional tahan gempa menjadikan pengetahuan faktual akan kelemahan struktur menjadi stagnan. Modifikasi bangunan tradisional karena tuntutan perkuatan atau perbaikan menjadi “bid’ah arsitektur” yang banyak dihindari oleh masyarakat. Mereka khawatir dianggap tidak sesuai pakem, merusak warisan budaya, atau mengkhianati tradisi. Justru dalam hal ini diperlukan modifikasi-modifikasi cerdas pada bangunan tradisional sebagai inovasi menghadapi keuzuran bangunan, berubahnya fungsi bangunan atau sekadar penyesuaian kebutuhan penghuni.

Hal terakhir, dan mungkin menjadi muara dari sebab kerusakan bangunan tradisional, adalah perawatan bangunan. Kita (mungkin) dikenal pandai membangun tetapi miskin dalam merawat bangunan, yang menjadikan rayap dan kelembaban menggerogoti kekuatan struktur bangunan.

Sekarang saatnya untuk bukan sekadar peduli, melainkan beraksi taktis dan berpikir strategis guna menyelamatkan warisan budaya. Mulai dari penyadaran pentingnya pusaka ini dilestarikan melalui pendidikan warisan budaya kepada masyarakat. Yang lebih penting lagi hentikan “evakuasi” joglo ke luar dari habitatnya dengan alasan apa pun. Bukankah bunga mawar akan terlihat lebih indah di pohon dibandingkan di pot atau vas bunga?

Walau kita berharap gempa lalu adalah yang terakhir, tetapi kita tidak dapat memastikannya. Yang dapat kita yakini adalah usaha kita untuk mengantisipasi ketika bencana datang.

(di amal jariyahkan melalui KOMPAS edisi Yogyakarta, 23 Agustus 2006 hal. D)

Yulianto P Prihatmaji
Dosen Jurusan Arsitektur Universitas Islam Indonesia Yogyakarta

Bangunan Tanggap Gempa

December 29, 2007

Sengaja judul tulisan ini adalah bangunan tanggap gempa, earthquake response building bukan bangunan tahan gempa, earthquake resistant building. Walaupun sekilas tampak sama, tetapi ada beberapa prinsip dan perspektif yang membedakan keduanya.

Kata tahan lebih dimaknai bahwa sebuah bangunan dan alam sekitar merupakan dua entitas yang berbeda. Ketika sang alam “berulah” dan menyinggung si bangunan, yang ada adalah menang atau kalah. Tidak ada dialog di antara keduanya, yang ada persiapan, berhadapan, hidup atau mati, bangunan roboh atau tetap berdiri. Maaf, mungkin ini terlalu berlebihan.

Secara harfiah, kata tanggap berarti peduli, nguwongke atau bagaimana satu pihak ngaruhke kepada pihak lain. Di sini tercipta dialog-dialog, interaksi antara bangunan dan alam di mana bangunan itu didirikan. Diharapkan dari dialog ini ada kesepahaman antara keduanya, sehingga dapat saling berdampingan dan bersahabat.

Sekarang masyarakat sedikit demi sedikit telah melek atau peduli bagaimana membangun bangunan yang “peduli gempa” atau paling tidak, berisiko kecil ketika getaran gempa menerpa bangunan. Mungkin ini salah satu dari hikmah bencana yang baru saja berlalu.

Learning from today’s disasters for tomorrow hazards, belajar dari bencana hari ini untuk menghadapi ancaman hari esok. Sesuai dengan kampanye reduksi bencana melalui United Nations-International Strategy for Disaster Reduction atau UN-ISDR yang digaungkan sejak Oktober 2004.

Saat ini, masyarakat mulai bergairah untuk menciptakan lingkungan binaan yang lebih baik. Tempalah besi selagi panas, begitulah kata pepatah. Artinya, mumpung masyarakat sedang mood memperbaiki rumah dan lingkungannya harus kita dukung dengan informasi yang memadai.

Hal ini butuh kesiapan berbagai pihak untuk menyediakan pengetahuan, contoh dan strategi diseminasi tentang bangunan tanggap gempa. Apakah bangunan tanggap gempa itu? Bagaimana cara membangunnya? Berapa biaya yang dibutuhkan? Barangkali pertanyaan tersebut sekarang lagi populer di masyarakat.

Bangunan tanggap gempa merupakan sebuah bangunan yang dapat mengakomodasi gaya gempa yang terjadi, baik gaya vertikal, horizontal, maupun diagonal. Penulis sengaja tidak memberikan contoh- contoh bentuk atau model bangunan tanggap gempa karena khawatir hal ini akan malah menjadi kontraproduktif. Tawaran diskusi akan mengarah kepada prinsip-prinsip bangunan tahan gempa, selanjutnya bentuk dan eksekusi metoda membangun diserahkan kepada masyarakat.

Kita bisa belajar dari rumah-rumah tradisional di Nusantara. Dengan arif masyarakat tradisional memilih dan menggunakan bahan bangunan lokal, sistem struktur konstruksi yang tepat guna dan metode perawatan bangunan. Faktor terakhir inilah yang sering terabaikan sehingga banyak rumah tradisional tidak begitu tangguh dan andal menghadapi bencana seperti gempa bumi. Kita dikenal pandai membangun, tetapi miskin dalam budaya merawat bangunan.

Bangunan yang tanggap gempa cenderung berbentuk denah atau potongan sederhana, artinya condong menggunakan bentuk dasar, kotak, lingkaran, dan sebagainya. Kalaupun ada tambahan ruang, diusahakan terpisah atau merupakan kesatuan dengan bangunan induk. Proporsi bangunan, baik horizontal maupun vertikal juga dipertimbangkan seimbang. Dimensi bangunan yang cenderung besar dapat diperkecil dengan modul-modul yang berulang untuk menjaga kestabilan bangunan. Misalnya, modul ruang menggunakan ukuran 3 x 3 meteran, sehingga bangunan menyerupai kotak-kotak yang disusun.

Modul-modul ini akan berperilaku seragam ketika terkena gaya gempa, sehingga masing-masing modul serempak bergerak ke arah yang sama. Akibatnya, risiko bangunan rusak kecil karena tubrukan perilaku modul dapat diminimalkan.

Prinsip keseimbangan

Bangunan tahan gempa dapat menggunakan bahan bangunan yang bermacam- macam, sesuai bahan yang tersedia di sebuah wilayah. Penggunaan bahan bata, kayu, bambu, atau beton yang mempunyai andil yang sama untuk menciptakan bangunan tanggap gempa. Sekadar untuk panduan, penggunaan bahan disesuaikan dengan karakter bahan.

Prinsip tectonic of the frame and stereotomic of compressive mass dapat diterapkan. Artinya, bahan bangunan yang berkarakter berat cenderung diletakkan di bawah dan bahan bangunan yang bersifat ringan dapat diletakkan di atasnya. Ini adalah prinsip dasar keseimbangan. Penggunaan bahan yang ringan selain mengurangi beban bangunan juga ketika “terpaksa” roboh karena gempa tidak terlalu melukai penghuni atau pengguna bangunan.

Setelah bentuk bangunan dirancang, maka dibangunlah sebuah rumah tanggap gempa. Pastikan bahwa komponen-komponen bangunan lengkap. Kalau dianalogikan dengan manusia lengkap, maka sebuah bangunan harus mempunyai kaki, tubuh, dan kepala. Kaki bangunan adalah fondasi, tubuhnya ialah dinding, termasuk kolom, dan kepalanya merupakan atap (rangka dan penutup atap).

Hal yang krusial adalah tentang sambungan antarkomponen antara fondasi dengan kolom, kolom dengan atap, dan kesatuan antarkolom dengan sloof dan balok cincin (ring balk). Sambungan ini harus benar- benar terkait satu sama lain, untuk memastikan kesatuan bangunan, sehingga bila terjadi gempa dapat stabil. Kemudian sambungan antarelemen, baik menggunakan bahan kayu, bambu, beton atau mungkin baja, agar dipastikan sambungannya terkait erat dan kokoh.

Bentuk bangunan tanggap gempa bukanlah dogma yang harus sama dan seragam. Dengan memberdayakan bahan-bahan lokal, mengajak partisipasi masyarakat, serta adanya pendampingan terhadap teknik dan metode membangun diharapkan tercipta bangunan yang homy, lokal, dan tanggap gempa.

Metode learning by doing mungkin salah satu strategi yang baik untuk diterapkan saat ini untuk diseminasi bangunan tanggap gempa yang melibatkan peran serta masyarakat. Di satu sisi, masyarakat butuh rumah dengan segera, di sisi lain kita tidak ingin kehilangan momen untuk meningkatkan pengetahuan masyarakat memperbaiki lingkungan binaan mereka dengan aman dan berkelanjutan.

(di amal jariyahkan melalui KOMPAS edisi Yogyakarta, Selasa 11 Juli 2006)

Yulianto P Prihatmaji
Dosen Arsitektur Jurusan Arsitektur
Universitas Islam Indonesia
Yogyakarta

Hunian Sementara Pascagempa

December 29, 2007

Bantuan untuk masyarakat korban gempa di Yogyakarta dan Jawa Tengah seperti gelombang datang silih berganti, baik berupa makanan, obat, pakaian, penerangan, peralatan rumah tangga, maupun tempat naungan sementara di tenda. Di antara bantuan tersebut mungkin hanya temporary shelter, hunian sementara, yang memerlukan pemikiran lebih serius.

Saat ini warga yang kehilangan rumah tinggal di barak pengungsian baik berkelompok maupun individu membikin “bedeng” di sekitar rumahnya atau membangun tenda di jalan-jalan kampung dan bahkan di area kuburan.

Bagi mereka yang rumahnya rata dengan tanah dan tidak mempunyai lahan memilih berkelompok di barak pengungsian atau membuat tenda bersama tetangga yang senasib. Bagi warga yang rumahnya tidak layak huni tetapi masih mempunyai lahan kosong membuat tenda di area itu. Bagi warga yang bagian rumahnya masih memungkinkan dihuni membuat tenda di emperan rumah karena masih trauma (Jawa: tomtomen) dengan gempa yang lalu. Warga yang kurang beruntung seperti keadaan di atas harus membangun hunian sementara mereka di area kosong seperti jalan- jalan kampung atau tegalan atau bahkan area makam.

Ada kecenderungan, warga enggan masuk ke rumah mereka walau secara teknis bangunan mereka layak huni. Selain itu, warga cenderung ingin “menunggui” atau dekat dengan rumahnya walau sudah rata dengan tanah. Ini mungkin sesuai falsafah Jawa sedumuk bathuk senyari bumi.

Keberadaan hunian sementara dibutuhkan ketika masyarakat belum mempunyai lahan yang siap bangun dan biaya. Meski begitu waktu huni untuk temporary shelter pun harus dibatasi, misalnya dua, tiga, atau empat bulan sambil menunggu pembangunan rumah permanen dan wajib memerhatikan beberapa pertimbangan terkait dengan kondisi pascagempa.

Pertama, shelter ini harus dapat disediakan secara cepat dan massal, murah, dan mudah dipasang. Kecepatan dan dapat diproduksi massal menjadi syarat untuk memenuhi emergency response. Murah dalam arti dapat diadakan oleh pemerintah maupun warga sendiri. Mudah dalam pemasangan dan bahan mudah didapat disebabkan terbatasnya tenaga dan keterampilan warga atau relawan.

Kedua, aman atau tahan gempa. Ini sehubungan masih adanya gempa susulan atau angin kencang yang menyertai hujan. Keamanan konstruksi juga dapat dipengaruhi oleh pemilihan bentuk, sistem struktur, dan bahan hunian sementara. Ketika terjadi gempa, hunian sementara dapat tahan terhadap guncangan gempa, atau bila bangunan roboh (materialnya) tidak membahayakan penghuni, misalnya menggunakan bahan-bahan yang ringan (tripleks, seng, dan lain-lain).

Ketiga, harus memenuhi faktor kesehatan, karena dalam kondisi sekarang (pascabencana dan musim hujan) sangat berpotensi menimbulkan masalah-masalah baru seperti penyakit flu dan muntaber. Ini didapat dengan meninggikan bangunan, memperlebar tritisan, dan lain-lain. Selain itu, pencahayaan dan penghawaan di dalam bangunan juga harus memadai.

Keempat, faktor psikologis warga yang masih trauma terhadap segala sesuatu yang berhubungan dengan getaran atau suara gemuruh (gempa). Untuk itu, bangunan secara teknis harus tahan gempa atau dapat meredam getaran yang diakibatkan gempa atau kendaraan yang melintas.

Kelima, yang tak kalah pentingnya adalah faktor perilaku dan adat kebiasaan masyarakat setempat. Kecenderungan warga yang ingin selalu dekat dengan rumahnya walaupun sudah roboh menjadikan hunian sementara harus fleksibel dengan ukuran lahan yang tersedia. Ketika dua kepala keluarga atau lebih menginginkan bergabung menjadi satu bangunan, hunian sementara juga harus dapat meresponsnya dengan baik. Fleksibel

Kelompok dalam masyarakat, misalnya Dasa Wisma, Pokja, atau lainnya, dapat dimanfaatkan untuk membentuk cluster hunian sementara. Ini untuk menyederhanakan penyediaan hunian sementara dan distribusi bantuan.

Dengan kata lain, modul hunian sementara bersifat fleksibel dengan ukuran lahan mempertimbangkan ketersediaan bahan bangunan, dan dapat dibongkar seluruh atau sebagian bahannya yang dapat digunakan untuk membangun hunian permanen.

Ketersediaan pilihan-pilihan desain hunian sementara mendesak untuk diadakan. Institusi pemerintah, Ikatan Arsitek Indonesia (IAI), Jurusan Arsitektur, LSM, dan lembaga-lembaga lain yang bergerak di bidang shelter diharapkan berpartisipasi menyediakan desain dan model hunian sementara yang layak, sehat, terjangkau, dan sesuai budaya lokal.

Wilayah Kota Yogyakarta mempunyai lebih kurang 2.500 rukun tetangga (RT), masing-masing RT memiliki rata-rata 40 kepala keluarga (KK). Dari 40 KK ini, taruhlah 20 persen kehilangan rumah, berarti harus disediakan delapan unit modul hunian sementara setiap RT. Artinya, Kota Yogyakarta membutuhkan 20.000 unit modul hunian sementara untuk warga yang kehilangan rumah. Belum lagi kebutuhan hunian sementara di Kabupaten Bantul, Sleman, Kulon Progo, Gunung Kidul, dan wilayah Jawa Tengah lainnya.

Wilayah yang membutuhkan hunian sementara terlampau luas kalau hanya menggunakan satu jenis model hunian sementara. Ketersediaan pilihan desain dan model mutlak diperlukan. Biarlah masyarakat yang menentukan dan membangun hunian sementara, dibantu para relawan. Lembaga-lembaga di atas hanya penyedia dan pendamping kebutuhan masyarakat sehingga masyarakat tidak kehilangan perannya dalam menciptakan lingkungan binaannya, walau hanya sementara.

Hal ini untuk menumbuhkan semangat masyarakat untuk beraktivitas yang sempat redup pascagempa. Yang lebih penting lagi adalah kepastian berapa lama hunian sementara ini akan digunakan karena daya tahan hunian sementara dan masyarakat penggunanya tidak tak terbatas.

(di amal jariyahkan melalui KOMPAS edisi Yogyakarta, Rabu 7 Juni 2006)

Yulianto P Prihatmaji
Jogjateng Archquick Response
LBA UII Yogyakarta

Makam Susun : Antara Perda, Tradisi dan Teknologi

December 29, 2007

Sinyalemen pemerintah kota Yogyakarta ketika dipimpin oleh rejim Herry Zudianto dan Syukri Fadholi tentang makam susun patut kita renungkan. Gagasan ini dipicu oleh jumlah kematian penduduk kota dan keinginan penduduk luar kota untuk dimakamkan di Yogyakarta di satu sisi, serta tidak bertambahnya jumlah dan luas area pemakaman disisi lain.

Pesona Yogyakarta tidak berhenti pada hal duniawi saja, misalnya sebagai kota pelajar, pariwisata dan budaya, tetapi juga merambah pada bab ukhrowi. Entah apa yang menyebabkan penduduk luar kota banyak yang ingin dikebumikan di Yogyakarta, mungkin mereka beranggapan atmosfer adem-ayem kota ini dapat dinikmati juga di alam sana.

Sebenarnya hal ini bukanlah baru dan bukan lagi sekedar wacana, tetapi sudah ada Peraturan Daerah (Perda) yang mengatur pemakaman susun. Menurut Perda Kota Yogyakarta Nomor 7 Tahun 1996 tentang Tempat Pemakaman di Wilayah Kota, pemakaman susun dapat dilakukan di antara (kerangka) jenazah anggota keluarga. Apabila bukan anggota keluarga, harus ada izin tertulis dari keluarga, ahli waris, atau pihak yang bertanggung jawab atas (kerangka) jenazah yang dimakamkan lebih dahulu.

Secara teknis, peraturan ini mudah dan sederhana, tetapi pelaksanaannya memerlukan pendekatan yang khusus dan hati-hati. Hal ini pasti bersinggungan dengan budaya masyarakat, apalagi masyarakat Yogyakarta punya kekhususan.

Pertama, perda diatas mengisyaratkan bahwa silsilah atau alur keluarga yang dimakamkan terdokumentasikan dengan baik. Kenyataannya, tidak sedikit kuburan-kuburan yang “kepaten obor” dengan keluarga yang masih hidup. Keadaannya terbengkalai, rusak bahkan hilang digantikan oleh penanda batu nisan orang lain. Syukurlah pihak keluarga tidak pernah menuntut negara atau Komnas HAJ (Hak Asasi Jenasah) atau KONTRAM (Komisi untuk Nisan Hilang dan Korban Penggusuran Makam), karena mereka beranggapan bahwa kiriman doa tidak mungkin salah alamat.

Kedua, seakan-akan keadaan makam sudah tertata dengan baik, baik untuk sirkulasi, akses peziarah dan ruang galian kuburan. Kenyataannya, kebanyakan (untuk tidak mengatakan sedikit) akses dan sirkulasi makam jadi satu dengan hamparan batu-batu nisan, sehingga efisiensi areal makam belum optimal.

Keadaan ini menyebabkan peziarah harus berjuang mencapai makam keluarganya, sering tersandung nisan, kejeblos lubang, tanah becek, tergores ilalang bahkan tersesat. Perawatan area makam menjadi sulit, pembersihan sampah dan daun disela-sela kijing memerlukan seni tersendiri selain kesabaran, untuk tidak merusak kijing-kijing tersebut.

Ketiga, seolah-olah areal pemakaman telah menjadi seperti ruang terbuka hijau kota, bersih dan tertata. Faktanya, masih banyak pemakaman yang ada rumah-rumahan atau cungkup, yang banyak menyita ruang efektif makam. Hal ini menjadi kendala ketika pemkot akan mengecilkan ukuran makam.

Pendekatan budaya masyarakat yang sudah mentradisi perlu dilakukan. Hal ini berkaitan dengan bilamana makam susun dapat dilakukan oleh satu keluarga. Misalnya, ketika selang waktu meninggal si suami dengan si istri hanya satu tahun atau kurang, apakah kuburan suami dapat diinsert jenazah istri atau anaknya.

Secara budaya, pendekatan tradisi telung dino, pitung dino, patang puluh, nyatus (tiga hari, tujuh hari, empat puluh hari, seratus hari setelah meninggal), mendak (1 dan 2 tahun) atau nyewu (seribu hari) dapat digunakan. Artinya, waktu pelaksanaan makam susun dapat dilakukan dapat dijelaskan. Secara ilmiah dapat dijelaskan kapan jasad yang terkubur itu sudah hancur, kemudian diatas atau disampingnya dapat disisipkan jenasah lainnya.

Masyarakat Jawa mempunyai tradisi nyewu (peringatan seribu hari setelah meninggal), dus hal ini juga sebagai penanda waktu bahwa kuburan boleh dikijing atau dipasang batu nisan. Ketika sudah seribu hari, dapat dipastikan jasad sudah tinggal tulang belulang yang dapat disisihkumpulkan ditepi, untuk selanjutnya ruang makam dapat diisi oleh jasad lain.

Tradisi lainnya adalah unggah-ungguh atau sopan santun. Walaupun sudah meninggal apakah (jasad atau tulang) mbah kakung boleh ditumpuki oleh (jenazah) mbah putri atau putra-putrinya. Ini tentang sistem penyusunan makam, apakah atas bawah, kiri kanan atau semua sisi boleh. Hal ini tentunya harus diatur, walaupun tidak harus rigid. Artinya pihak keluarga dipersilahkan mengatur sendiri sepanjang mempertimbangkan efisiensi penggunaan area makam yang telah ditentukan.

Pendekatan terakhir adalah teknologi untuk sistem atau metode penyusunan makam. Penggunaan teknologi disini janganlah dibayangkan menggunakan peralatan forklift, derek atau memakai remote control untuk menurun-naikkan jenazah. Barangkali lebih tepat teknologi tepat guna untuk menyusun makam. Penggunaan teknologi tepat guna juga memungkinkan peran tukang gali kubur dan juru kunci makam dapat dilestarikan.

Sistem kompartemen atau penciptaan ruang solid seperti kontainer atau peti kemas dapat digunakan. Makam baru untuk jenazah pertama di letakkan dalam sebuah kontainer di bagian bawah, lalu (kontainer) jenazah selanjutnya dapat diletakkan disamping atau diatasnya. Kontainer yang digunakan memungkinkan jenazah bersentuhan dengan tanah untuk proses pembusukkan alami.

Sistem yang lebih tradisional tetapi tepat guna juga dapat dilakukan. Misalnya, jenazah diletakkan dibagian bawah yang dimungkinkan diatas atau disampingnya disisipi jenazah lain. Hal ini perlu pertimbangan ukuran (panjang, lebar dan kedalaman) dan bahan (beton, bambu atau peti kayu) ruang makam yang memungkinkan kuburan digali tanpa merusak atau mengganggu jenazah yang telah dikebumikan lebih dulu.

Kebetulan, salah satu misi pasangan walikota Yogyakarta terpilih adalah mewujudkan pembangunan kota yang (nyaman dan) ramah lingkungan, sedangkan pemakaman adalah bagian dari pembangunan kota. Bisakah walikota memberi jaminan kenyamanan pada penduduknya, walaupun sudah meninggal? Bukankan (kota atau) orang yang cerdas adalah (kota atau) orang yang mempersiapkan kematian (penduduk) dengan baik?

(di amal jariyahkan melalui harian KOMPAS edisi Yogyakarta, Rabu 18 April 2007 hal. D)

Yulianto P Prihatmaji
Juru Terang Arsitektur
Universitas Islam Indonesia
Yogyakarta